• Sebuah Perjalanan

    Perjalanan apapun, dimulai dari sebuah langkah kecil.

  • Singha Barwang

    Singha Barwang / Macan Ali adalah simbol kerajaan di Cirebon. Merupakan kaligrafi berbentuk seekor singa.

  • Makrifatullah

    MAKRIFAT IALAH :Mengenal Allah SWT.pada Zat-nya,pada Sifat-nya,pada Asma'nya dan pada Af'al-nya.

  • Rajah Kalacakra

    Ilmu Rajah KalaCakra merupakan ilmu untuk menyerang makhluk halus yang mengganggu kita.

  • Abdul Jabbar

    لا فتى إلا علي ولا سيف إلا ذوالفقار

Tuesday, September 7, 2010

Makna Gunungan pada Wayang Kulit


Gunung, Candi dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari...



Secara umum Gunungan menggambarkan bentuk gunung, profil lapisan permukaan bumi yang menonjol. Gunung mempunyai sifat alamiah yang stabil. Gunung menggambarkan tempat yang tinggi, sejuk, oksigen yang tipis, lereng yang curam penuh hutan belukar, pada kaki gunung biasanya terdapat dataran yang subur. Daerah pegunungan cocok sebagai tempat peristirahatan, tempat mencari kedamaian batin. Pemandangan yang indah dan alami di pegunungan membangkitkan rasa terdalam dalam diri seseorang.


Oksigen yang tipis di pegunungan mengakibatkan seseorang kurang bicara, dan mudah mendapatkan inspirasi. Otak kita mendapat masukan energi dari sari-sari makanan dan oksigen. Pasokan oksigen yang tipis di tempat pegunungan yang tinggi, membuat pikiran seseorang berkurang keaktifannya, berkurang keliarannya dan menjadikannya lebih meditatif.


Para leluhur kita menempatkan gunung sebagai tempat pertapaan orang-orang suci. Beberapa wilayah gunung dikeramatkan, dijadikan tempat suci, ada yang dinamakan Dieng dari kata dhyang, ada yang disebut Parahiyangan, tempat para Hyang, Kahyangan, tempat para makhluk suci. Nama tempat suci Himalaya, Mahameru, Kailasa bahkan Gua Hira semuanya berada di atas Gunung.


Dari gunung kelihatan pemandangan yang luas di bawah. Semakin ke atas semakin luas batas cakrawala yang nampak. Semakin ke atas kesadaran seseorang, dia akan melihat secara general, umum dan tidak lagi terfokus pada detail yang rinci. Semakin tinggi kesadaran seseorang, pandangannya menjadi semakin holistik.


Seseorang yang pandangannya terfokus ke atas, ke puncak, hanya melihat fokus tujuannya saja. Itulah sebabnya seseorang yang terfokus pada pencapaian kesadaran tinggi, sering tidak peduli dengan kondisi masyarakat sekitar, sering alpa dalam memahami kondisi negerinya. Para leluhur kita menyebut seseorang yang dapat menjelaskan segala sesuatu secara alami, secara natural sebagai Resi. Seseorang yang telah mencapai puncak kesadaran, selanjutnya dari puncak akan melihat ketidak benaran, ketidak adilan di bawah dengan jelas, sehingga dia akan memperhatikan kondisi masyarakat sekitar. Seorang Master, seorang Bhagawan, begitu para leluhur menyebutnya, akan peduli dengan nasib tetangga. Seseorang belum menjadi orang yang baik bila ada tetangganya yang tidak dapat tidur dengan perut keroncongan. Leluhur kita menyebut contoh Resi Drona yang pemahamannya tentang alamm luar biasa, tetapi membela kaum Kurawa yang jahat yang telah memberi kehidupan dan kehormatan bagi dirinya. Lain halnya dengan Bhagawan Abiyasa, leluhur Pandawa, seorang pertapa sederhana tempat Arjuna menanyakan segala sesuatu.


Bangunan Candi, seperti halnya bangunan Piramid juga bermaksud menggambarkan sebuah gunung. Dari jauh Candi Borobudur nampak seperti bukit dengan sawah yang bertingkat-tingkat. Candi megah ini terletak di Pusat Pulau Jawa, dikelilingi oleh perbukitan Menoreh yang membujur dari arah Timur ke Barat dan juga oleh berbagai gunung-gunung berapi seperti Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, dan Gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah Barat. Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini disebut stupa karena berhubungan dengan agama Buddha walaupun sentuhan Hindunya nampak kental sekali. Inilah budaya khas Nusantara yang menghormati semua kepercayaan yang ada.


Terdapat tiga bagian dari Candi Borobudur yang merupakan simbol Tiga Alam yaitu: Kamadhatu-Rupadhatu-Arupadhatu, alam bawah, alam tengah (antara) dan alam atas, suatu perwujudan antar hubungan mikrokosmos dan makrokosmos. Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu,keinginan yang rendah, yaitu dunia manusia biasa. Bagian tengah melambangkan Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan “alam atas” (arupadhatu). Bagian atas, Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, dan tidak berrelief.


Dalam kehidupan sehari-hari bentuk gunung diwujudkan para leluhur kita dalam berbagai peralatan. Diantaranya adalah caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak mengganggu kepala, akan tetapi mata tetap dapat memandang dengan leluasa. Selanjutnya, atap rumah joglo, yang menunjukkan bahwa pusat bangunan dengan lantai tertinggi terlelak di pusat, dibawah puncak atap dan merupakan tempat berdoa yang paling efektif. Nasi tumpeng juga berbentuk kerucut, dan puncaknya dipersembahkan kepada pimpinan tertinggi dalam acara ritual. Payung kraton bertingkat tiga juga menggambarkan tingkatan dari kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu. Gunungan berbentuk simetris di sebelah kiri dan kanan. Semakin ke bawah jarak antara kiri dan kanan melebar. Semakin ke atas sifat dualistis tersebut semakin kecil dan pada akhir, ujungnya terlampauilah sifat dualistis.


Penjelasan Makna Gunungan

Berikut ini adalah penjelasan Gunungan oleh Drs. R. Soetarno AK, Ensiklopedia Wayang, Dahara Prize, Cetakan Keempat, 1994. Gunungan adalah wayang berbentuk gambar gunung beserta isinya. Di bawahnya terdapat gambar pintu gerbang yang dijaga oleh dua raksasa yang memegang pedang dan perisai. Itu melambangkan pintu gerbang istana , dan pada waktu dimainkan gunungan dipergunakan sebagai istana. Di sebelah atas gunung terdapat pohon kayu yang dibelit oleh seekor ular naga.


Dalam gunungan tersebut terdapat juga gambar berbagai binatang hutan. Gambar secara keseluruhan menggambarkan keadaan di dalam hutan belantara. Gunungan melambangkan keadaan dunia beserta isinya. Sebelum wayang dimainkan, Gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan, Gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan.


Gunungan dipakai juga sebagai tanda akan bergantinya lakon/tahapan cerita. Untuk itu gunungan ditancapkan di tengah-tengah condong ke kiri. Selain itu Gunungan digunakan juga untuk melambangkan api atau angin. Dalam hal ini Gunungan dibalik, di sebaliknya hanya terdapat cat merah-merah, dan warna inilah yang melambangkan api.


Gunungan juga dipergunakan untuk melambangkan hutan rimba, dan dimainkan pada waktu adegan rampogan, tentara yang siap siaga dengan bermacam senjata. Dalam hal ini Gunungan bisa berperan sebagai tanah, hutan rimba, jalanan dan sebagainya, yakni mengikuti dialog dari Dalang. Setelah lakon selesai, Gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah layar, melambangkan bahwa cerita sudah tamat.


Gunungan ada dua macam, yaitu Gunungan Gapuran dan Gunungan Blumbangan. Gunungan Blumbangan digubah oleh Sunan Kalijaga dalam zaman Kerajaan Demak. Kemudia pada zaman Kartasura digubah lagi dengan adanya Gunungan Gapuran. Gunungan dalam istilah pewayangan disebut Kayon. Kayon berasal dari kata Kayun. Gunungan mengandung ajaran filsafat yang tinggi, yaitu ajaran mengenai kebijaksanaan. Semua itu mengandung makna bahwa lakon dalam wayang berisikan pelajaran yang tinggi nilainya. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang juga berisi pertunjukan wayang juga berisi ajaran filsafat yang tinggi.


Interpretasi Simbolisme dalam Gunungan

Dalam tradisi leluhur, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pemantap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga memberi makna bahasa alam yang dipercaya sebagai bentuk isyarat akan kehendak Gusti Kang Murbeng Gesang, Pemberi Kehidupan. Leluhur kita merasa lebih mantap jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja, melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat.


Dalam Gunungan terdapat gambaran tentang air, api, angin dan tanah. Gunungan mewakili lima unsur alam, yaitu tanah, air, api, angin dan ruang. Semua benda di alam ini merupakan kombinasi dari kelima unsur tersebut. Pada saat pagelaran wayang, sebelumnya hanya ada layar putih saja dengan Gunungan yang berada di tengah-tengahnya. Setelah Gunungan dimainkan dan kelima unsur tersebut membentuk alam, maka dimulailah cerita kehidupan di alam ini. Karena cerita berfokus pada istana, maka Gunungan Blumbangan gubahan Sunan Kalijaga pada waktu Kerajaan Demak diubah menjadi Gunungan Gapuran pada waktu Kerajaan berpusat di Kartasura. Pada setiap babak yang biasanya diawali dengan penggambaran suasana istana, maka Gunungan dimainkan. Demikian pula pada saat terjadi keributan misalnya amukan api atau gelombang samudera, Gunungan dengan posisi disebaliknya dimainkan. Setelah selesai maka Gunungan kembali diletakkan di tengah layar. Setelah pralaya maka setiap orang akan kembali kepada unsur-unsur alaminya.


Dalam setiap babak kehidupan mulai dari lahir sampai mati para leluhur mengingatkan perlunya kesadaan untuk memahami sangkan paraning dumadi, asal muasal kehidupan. Manusia ini asalnya dari Gusti Kang Murbeng Gesang, Yang Maha Pemberi Kehidupan, melalui lima unsur alami dan akhirnya kembali juga kepada lima unsur alami dan bersatu dengan Yang Maha Kuasa. Itulah mengapa setiap babak selalu diawali dan diakhiri dengan dimainkannya Gunungan oleh sang Dalang. Segala sesuatu diiawali dengan kelahiran, kemudian jagad gumelar, dunia terkembang dan diakhiri dengan jagad ginulung, dunia tergulung dan musnah. Di dunia ini tidak ada yang abadi.


Dalam pagelaran wayang yang tidak kalah penting adalah alunan suara gamelan. Suara gamelan menyentuh rasa yang terdalam diri manusia yang sudah halus rasanya. Suara Gong, Hooongggg. Ataupun suluk Dalang, Hooongggg.. kocap kacarita……. dan seterusnya adalah doa untuk ingat kepada Yang Maha Kuasa. Suara Pranawa Aum, Om oleh leluhur kita terdengar seperti oleh bangsa Tibet Huuungggg dan leluhur kita membuat suara alat musik yang disebut gong. Itulah mengapa upacara seremonial memakai Gong, sehingga tanpa sadar kita sudah berdoa dan ingat jatidiri manusia. Ommmmm.


Penjaga Gerbang Istana Dua Raksasa Dwarapala

Dua penjaga Raksasa Dwarapala di depan istana dalam Gunungan, juga selalu terdapat dalam dua sosok arca di depan gerbang istana. Dua raksasa yang bernama Jaya dan Wijaya juga diabadikan sebagai nama pegunungan di Papua sebagai pintu gerbang Indonesia dari sebelah timur.


Mereka adalah penjaga gerbang setia di Vaikuntha, Istana Wisnu. Dikisahkan Wisnu ingin suasana tak terganggu saat berdua dengan istrinya Lakshmi. Jaya dan Wijaya diinstruksikan untuk tidak mengizinkan semua pengunjung masuk. Empat tamu telah mempunyai janji untuk bertemu dengan Wisnu, akan tetapi Jaya dan Wijaya menolak mereka masuk ke dalam istana. Ke empat tamu tersebut marah dan memberi kutukan bahwa ke dua raksasa penjaga tersebut akan turun di dunia dan lahir dua belas kali sebagai musuh Wisnu.


Setelah selesai kejadian, Wisnu datang dan mengatakan bahwa mereka cukup lahir tiga kali sebagai musuh Wisnu dan akan kembali lagi bersama Wisnu. Jalan yang biasa ditempuh manusia untuk Jumbuh Kawula Gusti, bertemu dengan Gusti adalah dengan jalan berbuat kebaikan, dharma. Jalan Jaya dan Wijaya adalah jalan pintas tercepat, setiap saat dalam kehidupannya di dunia mereka hanya berpikir tentang musuhnya yaitu Wisnu, tak ada waktu senggangpun tanpa berpikir tentang Wisnu musuhnya.


Jaya dan Wijaya pertama kali lahir sebagai saudara kembar iblis, Hiranyaksha dan Hiranyakashipu yang dibunuh oleh Prahlada sebagai titisan Wisnu. Jaya dan Wijaya kemudian mengambil kelahiran kedua sebagai Rahwana dan Kumbhakarna, yang terbunuh oleh Sri Rama sebagai titisan Wisnu juga. Akhirnya, Jaya dan Wijaya lahir sebagai Shishupal dan Dantavakra dan dibunuh oleh Wisnu yang menitis sebagai Sri Krishna.


Hutan tanaman dan binatang adalah berbagai sifat dan tabiat manusia

Dalam Gunungan terdapat gambaran tentang hutan tanaman dan binatang. Jutaan tahun sebelum manusia hadir, bumi telah dipersiapkan melalui mekanisme alam semesta. Bumi terpilih sebagai lokasi yang ideal untuk kehadiran berbagai tumbuh-tumbuhan, fauna-flora dan manusia serta makhluk-makhluk yang kita tidak mengetahuinya.


Di mulai dengan tumbuh-tumbuhan yang bersel satu sedikit demi sedikit pertumbuhan tanam-tanaman berevolusi ke wujud-wujud yang lebih sempurna, baru kemudian hadir fauna, dan jutaan tahun kemudian hadir manusia dari suatu ekosistem yang saling menunjang, saling membutuhkan, semuanya lestari, berkesinambungan, yang kita sebut dengan suatu kesatuan.


Suatu teknologi yang sangat menakjubkan, setiap bentuk warna, dari suatu tumbuh-tumbuhan bermanfaat berbeda suatu dengan yang lainnya. Juga berbagai cabang, ranting, akar, umbi-umbian dari sesuatu tanamanpun berbeda-beda manfaatnya. Diperlukakan kurun waktu yang panjang untuk mempelajari semuanya. Leluhur kita bahkan menyimbolkan berbagai buah-buahan sebagai persembahan yang sakral bagi Yang Maha Kuasa. Kekuatan tanaman disebut Sri ( Yang Maha Agung), agar umat manusia mau mengikuti hukum alam dengan menyantap tanaman sebagai sumber energi, obat-obatan, gizi, protein, vitamin dan lain-lainnya.


Tidak banyak yang mengetahui bahwa kata sayur dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Sansekerta ayur yang berarti tumbuh-tumbuhan yang menyehatkan atau yang bermanfaat bagi umat manusia. Ilmu mengenai kesehatan yang dihasilkan oleh berbagai tumbuh-tumbuhan ini sudah hadir ribuan tahun yang lalu dengan nama Ayur-veda. Para ahli kesehatan meneliti berbagai manfaat dari berbagai tumbuh-tumbahan yang hadir di berbagai belahan bumi, dan berbagai topografi dan iklim yang berbeda-beda.


Manusia perlu sadar bahwa di dalam dirinya masih tersisa nafsu kebinatangan. Kebutuhan makan-minum, kenyamanan dan seks dalam diri binatang juga masih ada dalam diri manusia. Manusia harus meningkatkan harkat dirinya dengan sifat kasih dan ketidak terikatan terhadap dunia. Hidupnya hanya untuk berbakti dan melayani sesama. Alam semesta ini juga tidak mempunyai pamrih kecuali sekedar berbakti dan melayani makhluk hidup.


Alam bersifat memberi dan tidak membeda-bedakan

Pada hakikatnya Gunungan memuat ajaran agar manusia meneladani alam dan bertindak selaras dengan alam. Ajaran Astabrata dari Rama kepada Wibisana pada hakikatnya adalah pelajaran bagi manusia agar meneladani tindakan alam. Rama memberi nasehat kepada Wibisana, agar: Meniru sifat Matahari, Bulan, Bintang, Awan, Bumi, Samudera, Api dan Angin. Ke delapan unsur alam tersebut semuanya bertindak sesuai kodratnya. Mereka hanya sibuk bekerja menjalankan tugas dari Yang Maha Kuasa saja. Inilah contoh dari alam semesta yang bersifat kasih, hanya memberi, tanpa membeda-bedakan, dan tanpa pamrih sedikit pun juga.


Tanaman dan hewan pun memberikan banyak persembahan kepada makhluk lainnya. Lebah membuat madu jauh melebihi kebutuhannya untuk makan di luar musim bunga. Bahkan lebah menjaga kemurnian madunya yang sebagian besar justru dipersembahkan kepada manusia. Ayam bertelur sebutir setiap hari, dan tidak semuanya dipergunakan untuk meneruskan kelangsungan jenisnya. Sapi juga memproduksi susu melebihi kebutuhan untuk anak-anaknya. Padi di sawah menghasilkan butir-butir gabah yang jauh melebihi kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan kelompoknya. Pohon mangga juga menghasilkan buah mangga yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan untuk mengembangkan jenisnya. Pohon singkong memberikan pucuk daunnya untuk dimakan manusia, akar ubinya pun juga dipersembahkan, mereka menumbuhkan singkong generasi baru dari sisa batang yang dibuang. Sifat alami alam adalah penuh kasih dan ebih banyak memberi kepada makhluk lainnya.

Sunan Gunung Jati ; Makam dan Riwayat



Syarif Hidayatullah atau yang sering disebut dengan Sunan Gunung Jati merupakan salah satu anggota Wali Songo; penyebar agama Islam di Jawa di era Majapahit akhir. Dia adalah seorang raja (pemimpin rakyat), sekaligus wali (pemimpin spiritual, muballigh, da’i) dan sufi.

Dia adalah Putra dari Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’iliyah Arab Saudi –bukan dari Aceh. Dia juga bukan Fatahillah atau Faletehan seperti yang disebut-sebut dalam sebagian catatan sejarah. Faktanya adalah terdapat makam Fatahillah (Ki Bagus Pasai) di sisi makam Sunan Gunung Jati. Lagipula, Sunan Gunung Jati hidup di era Raden Patah, Sultan Demak pertama. Sedangkan Fatahillah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sultan Demak ke-3 setelah Dipati Unus. Repotnya, pembuktian oleh masyarakat umum sangatlah sulit akan keberadaan makam dua tokoh yang berbeda tersebut, karena adanya batasan masyarakat umum tidak diijinkan untuk bisa masuk mencapai pintu ke-9, tapi hanya sampai pintu ke-2 saja.

*************

Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran.

Gunung Jati yang terletak di tepi pelabuhan Muara Jati sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari manca negara. Penguasa negerinya sangat bijaksana, adalah Ki Gede Surawijaya dengan syahbandar bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati yang juga santri di Pangguron Islam Syekh Quro’ Krawang. Pedagang banyak yang datang dari Cina, Gujarat (barat India), dan Arab yang berdagang sambil berdakwah Islam. Lambat-laun, terjadi evolusi perubahan agama dari Budha ke Islam.


Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin Syekh Idlofi Mahdi. Oleh Ki Surawijaya, Syekh Idlofi diijinkan menetap dan tinggal di kampung Pasambangan yang terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron Islam. Muridnya diantaranya adalah Raden Walangsungsang dan adiknya, Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang Geulis. Keduanya adalah putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Mas Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Karena pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh Idlofi juga disebut Syekh Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”) atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari atau menyiarkan Gunung Jati”).


Setelah dianggap mumpuni, Walangsungsang bersama adik dan istrinya diperintahkan oleh Syekh Idlofi agar membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan Gunung Jati. Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang dan Walangsungsang diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki Pangeran Cakrabuana.


Pedukuhan itu berkembang pesat. Banyak pedagang membuka pasar dan kemudian menetap di pedukuhan itu. Karena multi ras, maka nama Tegal Alang-Alang lambat-laun luntur menjadi Caruban (pertautan). Di samping itu, nama ini disebabkan karena sebagian besar warganya bekerja sebagai pencari ikan dan mmebuat petis dari air udang yang dalam bahasa Sunda disebut “Cai Rebon”, maka lama-lama menjadi Cirebon.


Atas perintah Syekh Idlofi, Cakrabuana dan Rarasantang pergi ibadah haji, sementara istrinya yang lagi mengandung tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki Pengalang-Alang (Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah bernama Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Rarasantang kemudian berganti nama Syarifah Muda’im. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.




Sekitar tahun 1456 M, Cakrabuana pulang kampung. Pedukuhan Caruban yang berkembang pesat kemudian diganti namanya menjadi Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh Prabu Siliwangi -meskipun secara prinsip Raja Pajajaran ini kurang berkenan atas tindakan anaknya tersebut- dan Cakrabuana diberinya gelar “Sri Manggana“. Cakrabuana lalu membangun Istana Pakungwati, sesuai nama puterinya yang lahir ketika dia masih di Mekkah.


Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Idlofi, Cakrabuana membangun tempat peristirahatan yang disebut pertamanan Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati, jaraknya sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya berikut keturunannya.


*************

Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai pembesar Kota Isma’iliyah. Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana, keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai penerus Pangguron Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi sudah wafat.Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya, Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau Sunan.


Di awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah sowan ke kakeknya, Prabu Siliwangi sekaligus mengajak untuk memeluk agama Islam. Namun, Sang Prabu menolak, tapi tetap mengijinkan cucunya untuk menyebarkan Islam di wilayah Pajajaran. Dia kemudian mengembara ke Banten. Di sana, dia disambut dengan baik, bahkan dinikahkan dengan putri Adipati Banten, Nyi Ratu Kawungaten. Dari pernikahan ini lahirlah Nyi Ratu Winaon dan Pangerang Sabakingking.


Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di Kerajaan Demak yang baru berdiri 1478M. Dia kemudian diundang ke Demak dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama Rasul” di tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah Kesultanan Pakungwati dengan gelar Sultan. Karena merasa mendapatkan dukungan dari Demak, Cirebon tidak lagi mau membayar upeti -sebagai bukti ketundukan- pada Pajajaran. Marahlah Prabu Siliwangi. Dikirimlah 60 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk menangkap cucunya. Tapi usaha ini sia-sia. Pasukan Pajajaran itu berhasil dilumpuhkan oleh Cirebon. Mereka menyerah bahkan bergabung dengan Cirebon. Wilayah Cirebon semakin luas. Negeri-negeri yang sebelumnya di bawah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga dan Singapura melebur bergabung dalam kedaulatan Cirebon.


Pembauran multi ras terjadi di Cirebon. Kakak Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati) -kakek Sunan Gunung Jati, Nyi Rara Rudra menikah dengan saudagar Tiongkok/Cina, Ma Huang yang kemudian bergelar Ki Dampu Awang. Oleh Kaisar Tiongkok, Sunan Gunung Jati dijadikan menantu dinikahkan dengan Ong Tien (1481M), yang kemudian ganti menjadi Nyi Ratu Rara Sumanding. Pernikahan ini dilakukan setahun setelah Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun (1480M).


*************

Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat. Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak untuk mempertahankan Sunda Kelapa.


Dengan dibantu pasukan Cirebon, Fatahillah mampu memukul mundur Pajajaran yang berkolaborasi dengan Portugis. Mereka bisa diusir dari Sunda Kelapa di tahun 1522M. Banten di bawah kendali Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati juga memberikan dukungan yang hebat. Karena keberhasilan Fatahillah dalam memimpin Sunda Kelapa, maka ia juga disebut Kyai Bagus Pasai. Hanya beberapa bulan saja, Fatahillah kemudian kembali ke Cirebon -alasan utamanya adalah ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati dalam rangka memperluas wilayah Isllam ke negeri-negeri sekitar Cirebon (seperti: talaga, Rajagaluh). Padat saat yang bersamaan, Sunan Gunung Jati menikah lagi dengan Nyi Ageng Tepasari putri Ki Ageng Tepasan, seorang mantan pembesar Majapahit. Hal ini karena Nyi Pakungwati meninggal -tidak punya anak- dan Nyi Ong Tien juga tidak dikaruniai anak. Dari perkawinan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang kelak akan menggantikannya.


Selesai penaklukan negeri sekitar, Fatahillah menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu. Bupati Jayakarta diserahkan ke Ki Bagus Angke. Pangeran Pasarean naik menggantikan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan ke-2 Cirebon dengan penasehat politiknya, Fatahillah. Pangeran Sabakingking dinobatkan sebagai Sultan Banten pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin. Tahun 1552M, Pasarean meninggal mendahului ayahnya. Karena anak-anaknya masih kecil, Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat anak angkatnya, Aria Kamuning sebagai Sultan ke-3 Cirebon dengan gelar Dipati Cirebon I. Menikah dengan Nyi Ratu Wanawati putri Fatahillah, Aria Kamuning dikaruniai empat putra, yaitu: Nyi Ratu Ayu, Pangeran Mas, Pangeran Manis dan Pangeran Wirasaba.


Tahun 1568M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun. Dua tahun kemudian Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam secara berdampingan dan tidak diperantarai apapun. Ini menjadi bukti bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda.


Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim (Panembahan Girilaya), Mataram yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I) mengundang menantunya itu untuk datang ke Mataram. Bersama istri dan kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke Mataram. Karena kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon. Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M), sedang kedua putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten, An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh. Badridin, dan Pangeran Wangsakerta diberi bagian Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun 1667M. Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar Sultan.



Hal-hal unik tentang pemakaman Gunung Sembung ini adalah; Pertama, pemakaman tersebut dibagi dalam 9 pintu untuk menuju makam Sunan Gunung Jati di bagian tertinggi. Masyarakat awam dengan alasan keamanan hanya diperbolehkan ziarah sampai di depan pintu ke-3. Kedua, untuk penziarah Tionghoa, disediakan ruangan khusus bagian barat serambi muka.


Ketiga, tiga kali seminggu makam-makam tersebut dibersihkan dan diperbarui bung-bunganya oleh para juru kuncen. Secara rutin pintu Selamatangkep (pintu ke-2) yang membuka pemandangan ke cungkup makam Sunan Gunung Jati dibuka setiap Jum’at. Dan juga dibuka setiap pergantian petugas pada sore hari setiap setengah bulan. Pada saat terbukanya pintu inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh pengunjung umum untuk bisa melihat makam Sunan Gunung Jati.


Keempat, juru kuncen makam berjumlah 108 orang yang berprofesi secara turun-temurun. Mereka berasal dari Keling (Kalingga) -kira-kira Kediri, Jawa Timur saat ini.



Keterangan denah makam:
1. Sunan Gunung Jati, 2. Fatahillah, 3. Syarifah Muda’im, 4.Nyi Gedeng Sembung (Nyi Qurausyin), 5. Nyi Mas Tepasari, 6. Pangeran Cakrabuana, 7. Nyi Ong Tien, 8. Dipati Cirebon I, 9. Pangeran Jakalelana, 10. Pangeran Pasarean, 11. Ratu MAs Nyawa, 12. Pangeran Sedang Lemper, 13. Komplek Sultan Panembahan Ratu, 14. Adipati Keling, 15. Komplek Pangeran Sindang Garuda, 16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I), 17. Ki Gede Bungko, 18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas), 19. Komplek Sultan Moh. Badridin, 20. Komplek Sultan Jamaludin, 21. Komplek Nyi Mas Rarakerta, 22. Komplek Sultan Moh. Komarudin, 23. Komplek Panembahan Anom Ratu Sesangkan, 24. Adipati Awangga (Aria Kamuning), 25. Komplek Sultan Mandurareja, 26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin, 27. Komplek Sultan Nurbuwat, 28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiudin, 29. Komplek Sultan Saifudin Matangaji


PINTU SEMBILAN:
I. Pintu Gapura, II. Pintu Krapyak, III. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Ratnakomala, V. Pintu Jinem, VI. Pintu Raraoga, VII. Pintu Kaca, VIII. Pintu Bacem, IX. Pintu Teratai


LAIN-LAIN:
A. Masjid Sunan Gunung Jati (sebelah timur No. 26),
B. Karas/Lunjuk (tempat istirahat keluarga Kraton setelah naik makam Sunan Gunung Jati),
C. Pintu Mergu (tempat ziarah orang-orang Tionghoa, D. Komplek Sultan Raja Sulaiman,
E. tempat Juru Kuncen menerima tamu-tamu umum, F. Pelayonan: tempat jenasah keluarga Kraton disholati,
G. Balemangu Pajajaran: hadiah dari Prabu Siliwangi, H. Pintu masuk para peziarah
I. Paseban Soko: tempat permusyawaratan, J. Gedung Jimat: tempat penyimpanan guci-guci Tiongkok
K. Balemangu Trusmi, L. Balemangu Pos Penjagaan, M. Gapura Timur: pintu masuk pertama peziarah umum,
N. Balemangu Majapahit: hadiah Demak, O. Paseban Besar : pendopo tempat penerimaan tamu-tamu kehormatan

 
  • Ceriwis

    Ceriwis
    Forum Gaul
  • Follower

  • About Me

    My photo
    It's Not Who I Am Underneath, but what I do that defines me.